Love Me Do
Tembang ini tembang kenangan. Pelan ia
melantun dari speaker radio. Aku duduk di kursi rotan, di samping jendela
dengan album penuh foto masa lalu di pangkuanku. Saat sehelai kelopak bunga
jatuh di atas wajahmu dalam foto yang sedang kupandangi sedari tadi, aku
tersenyum. Pikiranku bernostalgia pada masa itu.
Kau mengenakan kemeja biru muda
kesayanganmu. Tangan kita saling bertaut dan kau menyunggingkan senyum secerah
sinar mentari saat itu. Senyum yang tercipta setelah peristiwa bersejarah terjadi,
yang kemudian kukenang seumur hidup.
“Menikahlah denganku,” katamu.
Angin bertiup sepoi-sepoi membelai
wajah dan menerbangkan helai rambut kita, tapi gemuruh dalam diriku bertiup
ganas, layaknya angin puting beliung yang terus menggulung dan melilit perutku.
Saat kutatap matamu, kulihat kelopak matamu membulat, seakan gugup menanti
jawabanku.
“T-tapi..” aku menggeleng pelan dan
menunduk. Oh, aku bingung! Jawaban apa yang harus kuberikan padamu?
“Kenapa? Ada apa?” genggaman
tanganmu mengerat dan suaramu yang terdengar gugup membuatku mengangkat wajah
dan—sekali lagi—menatap bola matamu. Ada bayang wajahku dalam kelereng biru
jernih itu. Hanya diriku.
“Kau ragu padaku?” bisikmu. “Tunggu.”
Kau menoleh ke kiri dan kanan, melihat ke sekeliling taman yang ramai
pengunjung. Aku tak tahu apa yang akan kau lakukan saat kau melepas genggaman
tanganmu, sampai saat kau mengeluarkan gitar putihmu dari tas kulit yang
membungkusnya dan berdiri di atas batu di pinggiran kolam, lalu berbicara
dengan suara keras sehingga semua orang di taman diam dan memerhatikanmu.
“Untukmu, Marry. Bukti
kesungguhanku.”
Dan lalu tembang ini mengalun indah di
udara.
Love, love me do
You know I love you
I'll always be true
So please, love me do
Oh, love me do
Someone to love
Somebody new
Someone to love
Someone
like you
Sekali lagi—dengan setangkai bunga
hasil petikan di taman—setelah kau selesai mendendangkan tembang itu, sambil
berlutut, kau ucapkan lagi kata-kata lamaranmu.
“Miss Marry Lee, aku Edward Anthony
Mason, hari ini, saat ini juga, melamarmu untuk menjadi istriku, untuk
mendampingiku seumur hidup—selamanya. Bersediakah kau menerimaku?
“Terimalah aku, Marry,” katamu pelan,
setengah berbisik dengan mata memelas. Aku tertawa. Oh, betapa indahnya saat
itu—saat semua orang bertepuk tangan, bersiul-siul dan bersorak-sorai untuk
kita.
***
Ini musim semi tahun 2011, Sayangku.
Semuanya masih sama dengan musim semi tahun 1973 ketika aku memakai gaun putih
dan kau memakai tuksedo hitam, dan kita berjalan beriringan di bawah pohon sakura
yang tumbuh di sepanjang jalanan kota Ottawa. Kelopak-kelopak Indah bunga yang
menggantung di setiap pucuk tangkai, wangi khas yang mengepul di udara—hangat
dan damai—dan rasa cintaku tak berkurang sedikit pun. Hanya saja sekarang ada
garis-garis halus di sekitar area mata dan di samping bibirku. Aku juga semakin
sering menggumamkan kata “rindu” padamu.
Itulah yang sedang kukatakan sekarang,
Sayang, “Aku merindukanmu..”
Aku ingat saat kau memberiku kecupan
dalam dan lama sebelum kau pergi meninggalkanku untuk membela negara kita di
tahun 1976. Bibirmu bergetar ketika mengucapkan perpisahan. Tanganku mengepal
erat di dada. Saat itu aku tak berani menangis, aku harus tersenyum walau
pahit, untuk memberimu kekuatan agar dirimu sanggup menuntaskan tugasmu sebagai
pemuda milik negara. Barulah saat kereta melaju meninggalkan stasiun, jauh
hingga tak terlihat lagi wajahmu, airmataku tumpah.
Aku memeluk Sophie yang masih berusia
dua tahun saat itu setiap malam sebelum tidur. Tanpa seorang pun yang tahu, Sayangku,
aku selalu berdoa semoga hari di mana kita mengucap perpisahan di stasiun
kereta api, bukanlah hari perpisahan kita yang sesungguhnya.
Tiap kali mataku tertutup, aku akan
membayangkanmu pulang. Ada kumis tipis di atas bibirmu dan segurat luka gores
di wajahmu. Kulitmu makin gelap dan otot-ototmu yang kekar semakin berbentuk.
Lalu kau akan menyunggingkan senyum yang membawa kemenangan dan kebahagiaan
kembali ke dalam kehidupanku dan anak kita.
Pada tahun-tahun itu gelombang radio
tidak bagus. Banyak siaran yang terganggu akibat percobaan pembuatan senjata
yang dilakukan dalam saluran frekuensi tinggi oleh Uni Soviet. Aku tak bisa
menemukan lagu Love Me Do di saluran mana pun, jadi, aku hanya duduk di teras,
memeluk gitarmu dan mencoba menggumamkan sendiri nada-nadanya. Terkadang aku
akan mendendangkannya untuk Sophie sebagai lagu pengantar tidur, agar aku dan
dia bisa selalu ingat padamu.
***
Tembang ini tembang kenangan. Pelan ia
melantun dari speaker radio. Aku duduk di kursi rotan, di samping jendela dengan
album penuh foto masa lalu di pangkuanku. Setiap kali aku sampai pada halaman
terakhir di album ini, selalu ada rupa elokmu. Kau memakai topi dinasmu dan
tersenyum bangga padaku.
“Teh untuk Granna..”
Aku menoleh. “Oh, thank you, Dear..”
kataku. Kusambut secangkir teh dari Edward kecil. Dia berumur delapan tahun
sekarang.
Dia mirip denganmu, sayangku. Kelereng
biru dalam bingkai matanya selalu membuatku berdebar-debar—Sophie juga
berpendapat demikian. Dia dan Sean berharap Edward kecil bisa tumbuh dewasa dan
menjadi seorang pemuda berani seperti kakeknya.
“Kakek terlihat cool,” kata Edward kecil.
Aku tertawa kecil. “Yah, tentu saja.
Dia inikan kakekmu,” kataku.
Dia mengangguk, membetulkan apa yang
baru saja kukatakan, lalu dia mulai mengoceh panjang lebar seperti biasanya.
Tapi segera saja ocehannya terhenti saat angin di luar tiba-tiba bertiup
kencang dan menerbangkan kelopak-kelopak bunga ke udara, menciptakan
pemandangan yang indah.
“Hei, Gran, lihat! Wah, itu benar-benar cool!” dan dia pun berlari keluar.
Dia muncul di bawah pohon sakura
bersama Sophie dan Sean. Sophie melambai-lambaikan tangannya padaku dan
ketiganya tersenyum sangat bahagia. Aku membalas lambaian Sophie, juga dengan
senyuman.
Sekali lagi, saat angin tiba-tiba
bertiup kencang, tanganku merabai gitarmu yang bersender di samping kursi
rotanku. Jantungku berdebar-debar saat tembang ini kembali berdendang. Di balik
hujan bunga di luar sana, aku melihatmu berdiri di luar pagar rumah kita,
persis seperti yang kubayangkan setiap malam selama 35 tahun ini: ada kumis
tipis di atas bibirmu dan segurat luka gores di wajahmu, kulitmu makin gelap
dan otot-otot kekarmu semakin terbentuk.
Kau, dirimu, senyum dan cintamu. “I’m home, Marry..,” ucapmu
yang hanya didengar olehku.
“Kau benar-benar pulang?”
“Ya, tentu saja. Dan kita takkan
berpisah lagi untuk selamanya.”
“Kau janji?”
“Aku janji.”
Setetes air bening jatuh dari ujung
mataku, menitik di atas wajahmu dalam foto kenangan. Kemudian mataku pun
menutup, meninggalkan sekelebat luka dan duka yang menyakitkan dan kembali ke
masa muda kita. Berdua, bersama selamanya.
John Lennon boleh mati dan The Beatles
boleh bubar, tapi Love Me Do adalah tembang pembawa kebahagiaan yang tak
terlupakan selamanya. Tak jauh berbeda dengan kisah kita, kau boleh gugur
ketika membela negara 35 tahun lalu dan aku boleh menyusulmu ke sana hari ini,
tapi cinta kita akan kekal selamanya, selama bunga-bunga masih bermekaran saat
musim semi tiba.
---oOo---