Rabu, 15 Oktober 2014

CERPEN : Love Me Do


Love Me Do

Tembang ini tembang kenangan. Pelan ia melantun dari speaker radio. Aku duduk di kursi rotan, di samping jendela dengan album penuh foto masa lalu di pangkuanku. Saat sehelai kelopak bunga jatuh di atas wajahmu dalam foto yang sedang kupandangi sedari tadi, aku tersenyum. Pikiranku bernostalgia pada masa itu.

Kau mengenakan kemeja biru muda kesayanganmu. Tangan kita saling bertaut dan kau menyunggingkan senyum secerah sinar mentari saat itu. Senyum yang tercipta setelah peristiwa bersejarah terjadi, yang kemudian kukenang seumur hidup.

 “Menikahlah denganku,” katamu.

Angin bertiup sepoi-sepoi membelai wajah dan menerbangkan helai rambut kita, tapi gemuruh dalam diriku bertiup ganas, layaknya angin puting beliung yang terus menggulung dan melilit perutku. Saat kutatap matamu, kulihat kelopak matamu membulat, seakan gugup menanti jawabanku.

“T-tapi..” aku menggeleng pelan dan menunduk. Oh, aku bingung! Jawaban apa yang harus kuberikan padamu? 

 “Kenapa? Ada apa?” genggaman tanganmu mengerat dan suaramu yang terdengar gugup membuatku mengangkat wajah dan—sekali lagi—menatap bola matamu. Ada bayang wajahku dalam kelereng biru jernih itu. Hanya diriku. 

“Kau ragu padaku?” bisikmu. “Tunggu.” Kau menoleh ke kiri dan kanan, melihat ke sekeliling taman yang ramai pengunjung. Aku tak tahu apa yang akan kau lakukan saat kau melepas genggaman tanganmu, sampai saat kau mengeluarkan gitar putihmu dari tas kulit yang membungkusnya dan berdiri di atas batu di pinggiran kolam, lalu berbicara dengan suara keras sehingga semua orang di taman diam dan memerhatikanmu. 

“Untukmu, Marry. Bukti kesungguhanku.” 

Dan lalu tembang ini mengalun indah di udara.

Love, love me do
You know I love you
I'll always be true
So please, love me do
Oh, love me do
Someone to love
Somebody new
Someone to love
Someone like you
  
Sekali lagi—dengan setangkai bunga hasil petikan di taman—setelah kau selesai mendendangkan tembang itu, sambil berlutut, kau ucapkan lagi kata-kata lamaranmu.

“Miss Marry Lee, aku Edward Anthony Mason, hari ini, saat ini juga, melamarmu untuk menjadi istriku, untuk mendampingiku seumur hidup—selamanya. Bersediakah kau menerimaku? 

“Terimalah aku, Marry,” katamu pelan, setengah berbisik dengan mata memelas. Aku tertawa. Oh, betapa indahnya saat itu—saat semua orang bertepuk tangan, bersiul-siul dan bersorak-sorai untuk kita.

***

Ini musim semi tahun 2011, Sayangku. Semuanya masih sama dengan musim semi tahun 1973 ketika aku memakai gaun putih dan kau memakai tuksedo hitam, dan kita berjalan beriringan di bawah pohon sakura yang tumbuh di sepanjang jalanan kota Ottawa. Kelopak-kelopak Indah bunga yang menggantung di setiap pucuk tangkai, wangi khas yang mengepul di udara—hangat dan damai—dan rasa cintaku tak berkurang sedikit pun. Hanya saja sekarang ada garis-garis halus di sekitar area mata dan di samping bibirku. Aku juga semakin sering menggumamkan kata “rindu” padamu.

Itulah yang sedang kukatakan sekarang, Sayang, “Aku merindukanmu..”

Aku ingat saat kau memberiku kecupan dalam dan lama sebelum kau pergi meninggalkanku untuk membela negara kita di tahun 1976. Bibirmu bergetar ketika mengucapkan perpisahan. Tanganku mengepal erat di dada. Saat itu aku tak berani menangis, aku harus tersenyum walau pahit, untuk memberimu kekuatan agar dirimu sanggup menuntaskan tugasmu sebagai pemuda milik negara. Barulah saat kereta melaju meninggalkan stasiun, jauh hingga tak terlihat lagi wajahmu, airmataku tumpah.

Aku memeluk Sophie yang masih berusia dua tahun saat itu setiap malam sebelum tidur. Tanpa seorang pun yang tahu, Sayangku, aku selalu berdoa semoga hari di mana kita mengucap perpisahan di stasiun kereta api, bukanlah hari perpisahan kita yang sesungguhnya.

Tiap kali mataku tertutup, aku akan membayangkanmu pulang. Ada kumis tipis di atas bibirmu dan segurat luka gores di wajahmu. Kulitmu makin gelap dan otot-ototmu yang kekar semakin berbentuk. Lalu kau akan menyunggingkan senyum yang membawa kemenangan dan kebahagiaan kembali ke dalam kehidupanku dan anak kita.

Pada tahun-tahun itu gelombang radio tidak bagus. Banyak siaran yang terganggu akibat percobaan pembuatan senjata yang dilakukan dalam saluran frekuensi tinggi oleh Uni Soviet. Aku tak bisa menemukan lagu Love Me Do di saluran mana pun, jadi, aku hanya duduk di teras, memeluk gitarmu dan mencoba menggumamkan sendiri nada-nadanya. Terkadang aku akan mendendangkannya untuk Sophie sebagai lagu pengantar tidur, agar aku dan dia bisa selalu ingat padamu. 

***

Tembang ini tembang kenangan. Pelan ia melantun dari speaker radio. Aku duduk di kursi rotan, di samping jendela dengan album penuh foto masa lalu di pangkuanku. Setiap kali aku sampai pada halaman terakhir di album ini, selalu ada rupa elokmu. Kau memakai topi dinasmu dan tersenyum bangga padaku.

“Teh untuk Granna..

Aku menoleh. “Oh, thank you, Dear..” kataku. Kusambut secangkir teh dari Edward kecil. Dia berumur delapan tahun sekarang.

Dia mirip denganmu, sayangku. Kelereng biru dalam bingkai matanya selalu membuatku berdebar-debar—Sophie juga berpendapat demikian. Dia dan Sean berharap Edward kecil bisa tumbuh dewasa dan menjadi seorang pemuda berani seperti kakeknya.

“Kakek terlihat cool,” kata Edward kecil.

Aku tertawa kecil. “Yah, tentu saja. Dia inikan kakekmu,” kataku.

Dia mengangguk, membetulkan apa yang baru saja kukatakan, lalu dia mulai mengoceh panjang lebar seperti biasanya. Tapi segera saja ocehannya terhenti saat angin di luar tiba-tiba bertiup kencang dan menerbangkan kelopak-kelopak bunga ke udara, menciptakan pemandangan yang indah.

“Hei, Gran, lihat! Wah, itu benar-benar cool!” dan dia pun berlari keluar.

Dia muncul di bawah pohon sakura bersama Sophie dan Sean. Sophie melambai-lambaikan tangannya padaku dan ketiganya tersenyum sangat bahagia. Aku membalas lambaian Sophie, juga dengan senyuman. 

Sekali lagi, saat angin tiba-tiba bertiup kencang, tanganku merabai gitarmu yang bersender di samping kursi rotanku. Jantungku berdebar-debar saat tembang ini kembali berdendang. Di balik hujan bunga di luar sana, aku melihatmu berdiri di luar pagar rumah kita, persis seperti yang kubayangkan setiap malam selama 35 tahun ini: ada kumis tipis di atas bibirmu dan segurat luka gores di wajahmu, kulitmu makin gelap dan otot-otot kekarmu semakin terbentuk.

Kau, dirimu, senyum dan cintamu. “I’m home, Marry..,” ucapmu yang hanya didengar olehku. 

“Kau benar-benar pulang?”                                                                                  

“Ya, tentu saja. Dan kita takkan berpisah lagi untuk selamanya.”

“Kau janji?”

“Aku janji.”

Setetes air bening jatuh dari ujung mataku, menitik di atas wajahmu dalam foto kenangan. Kemudian mataku pun menutup, meninggalkan sekelebat luka dan duka yang menyakitkan dan kembali ke masa muda kita. Berdua, bersama selamanya.

John Lennon boleh mati dan The Beatles boleh bubar, tapi Love Me Do adalah tembang pembawa kebahagiaan yang tak terlupakan selamanya. Tak jauh berbeda dengan kisah kita, kau boleh gugur ketika membela negara 35 tahun lalu dan aku boleh menyusulmu ke sana hari ini, tapi cinta kita akan kekal selamanya, selama bunga-bunga masih bermekaran saat musim semi tiba.
  
---oOo---





Jumat, 13 Januari 2012



Over The Rainbow
 
Somewhere over the rainbow, way up high
There's a land that I heard of, once in a lullaby..

Sore itu sore yang indah sehabis hujan. Aku berdiri di dekat dermaga, menutup mata dan menarik nafas yang dalam. Angin laut yang bercampur bersama aroma tanah sehabis hujan membuatku bergidik karena dinginnya merasuk hingga ke tulang. Namun inilah saat yang kutunggu. Aku sering berdiri di sini kala hujan selesai bertandang dan bias cahaya mentari muncul perlahan, menunggu kejaiban kecil dari dongeng nenek.

“Pandangilah warna-warni indah pelangi yang menggoda matamu dan carilah ujungnya. Ketika kau menemukannya, bergembiralah, cucu-ku, karena harta karunmu telah kau temukan.”

Aku ingat betul kata-kata itu. kata-kata yang selalu menimbulkan sensasi tersendiri. Ujung pelangi, tidakkah itu menarik? Tidakkah itu membuatmu penasaran? jika benar di ujung pelangi tersimpan harta karunku, maka apa hartaku itu? Inilah misterinya.

Dan berhenti sampai di situ, ketika kubuka mataku yang terpejam sedari tadi, jantungku tercekat oleh warna indah ciptaan Yang Maha Kuasa. Warna-warna ini benar-benar muncul sekarang.
Aku bergerak menyelusuri dermaga. Pertama pelan, penuh keterkejutan dan kekaguman memandangi warna-warna tersebut, kemudian bertambah cepat. Cepat dan semakin cepat lagi. Angin laut bertiup kencang menerbangkan helai-helai rambutku, ketika aku berlari melawan arah tiupan angin. Mataku tak lepas dari warna-warna indah itu, aku mencari-cari ujungnya, dan.. di sana, ujungnya berakhir di dermaga tua yang tidak lagi difungsikan semenjak beberapa tahun lalu. Aku berdebar. apa yang ada disana? Apa yang telah menunggu untuk ditemukan olehku?

Kuceburkan tubuhku ke laut, berenang kian cepat ke sana. Rasanya seluruh tubuhku dipenuhi oleh rasa semangat yang luar biasa besar. Rasa penasaran yang menggerogotiku pun makin membesar. Otakku bekerja, memerintah tangan dan kaki-ku bergerak lebih cepat lagi. Ayo! Ayo!

Beberapa meter lagi aku akan mencapai tepian dermaga tua. Jantungku makin berdebar. Samar dalam pandanganku yang diciprati air asin sehingga membuat perih mataku, aku melihat sesuatu.

Sesuatu yang menawan hati, memesona jiwa.

Aku menepi sambil bersembunyi di balik jangkar karatan yang ditinggal para pelaut dan nyaris membentuk monster besi raksasa. Dia ada disana—tepat dibawah warna indah pujaanku dan terlihat Berkilauan. Tubuhnya bergerak lincah, menciptakan tarian indah. Mulutnya menyenandungkan nada alam dengan suara yang membuatku.. terhipnotis.

Tiba-tiba satu pertanyaan muncul dalam benakku.

“Inikah hartaku?”

Aku tersentak kaget karena tertangkap basah sedang mengintip. Mataku bertemu dengan Mata jernihnya. Kelereng biru muda yang menempel di dalamnya, membuatku terhanyut bila menatapnya lama-lama, seperti menatap birunya air laut. Waktu itu, kupikir waktu telah berhenti berputar dan kami telah dilemparnya ke dimensi lain yang entah dimana keberadaannya itu.

“Putri Duyung?” tanyanya spontan. Oh, bukan. Bukan!

Aku menggeleng cepat. Bersamaan dengan itu, aku mulai merasakan bagaimana dinginnya tercebur dalam air laut pada senja hari sehabis hujan (rasa dingin ini tidak muncul ketika semangat besarku mendorongku untuk berenang dari seberang sana menuju dermaga tua ini). Tubuh dan mulutku mulai menggigil. Pandangan di depanku menjadi gelap, dan kulihat dia berdiri didepanku, mengulurkan tangan padaku dengan senyum yang tak sanggup kutebak artinya.

“Kenapa kau bisa ada di sini?” 

Aku duduk di pinggir dermaga, di sampingnya duduk, menghadap ke arah barat. Enggan rasanya menjawab pertanyaannya barusan. Coba saja, apa yang harus kujawab? ‘Aku disini karena mencari harta karun’? dengan begitu aku akan dikira sebagai salah satu awak kapal Black Pearl-nya Jack Sparrow.

“Kau.. tenggelam? Hanyut?” tanyanya beruntun karena menyadari aku yang diam, tidak memberi jawaban.
“Tidak,” bantahku. “Aku ini perenang terbaik di sekolahku, bagaimana mungkin aku tenggelam,”gumamku kemudian, agak kesal rasanya. Tentu saja, ini menyangkut martabat, bukan? dia tertawa. Tawa yang terdengar renyah bercampur dengan suara debur ombak.

“Lalu?”

Aku diam. Haruskah kuberitahu yang sebenarnya? “Aku.. ng.. mencari harta karun..”

“Apa?” nada suaranya meninggi. Kelihatan sekali dari ekspresinya dia sedang terkejut.
“Harta karun, tapi..” aku menyela cepat-cepat sebelum dia berspekulasi yang tidak-tidak, “bukan harta karun seperti yang di cari para Lanun. Ini hanya.. hartaku. Hartaku yang berada di ujung pelangi seperti cerita nenek.” Telunjukku terangkat, arahnya berada pada warna-warna indah diatas kami yang mulai mengabur.

Dia diam. Aku meliriknya sekilas dengan ekor mataku dan menangkap basah bibirnya yang tertarik ke kanan dan kiri, membentuk seulas senyum. Bagus, dia mulai menertawakanku. Aku mencibir dan hampir saja beranjak meninggalkan tempat tersebut sebelum dia bertanya,
 
“Lalu?”
Aku menoleh padanya, “hah?”
“Hartamu.. kau menemukannya?”

Aku menggeleng pelan. “Ehm.. entahlah... “ kemudian kami terdiam, tapi sesuatu dalam diriku merasa harus bertanya padanya juga. “Dan Kau sendiri?” tanyaku, “sedang apa kau di sini? Bukankah dermaga ini sudah ditutup enam tahun lalu?”
Raut wajahnya berubah. Dialihkannya pandangannya dari diriku ke arah laut lepas. Suasana kembali senyap. “Kenapa? Apa aku salah bicara?” pikirku.

Suasana saat itu syahdu. Tak ada percakapan yang dibuka kembali, hanya keheningan yang mengisi udara. Laut yang tak berbatas menghampar di depan kami. Awan-awan berwarna oranye tua bergerak pelan ditiup angin dan burung laut pun telah bergegas pulang. Bayang matahari bergerak turun perlahan. Sejenak rasa penasaranku akan dirinya terlupakan. Aku suatu perasaan yang membuatku tenang, begitu damai, begitu.. menghargai setiap detik yang terlewati.

“Aku disini karena takdir.”

Aku menoleh cepat. “Aha! Takdir?” Takdir! rasanya geli mendengar jawabannya. Rupanya dia berniat bercanda. Begini, semenjak aku mendengar salah satu pelayat mengucapkan kata “takdir” pada saat upacara pemakaman nenek, aku mulai membenci kata itu. “Jadi ini berhubungan dengan takdir?”tanyaku. “Ketika aku berenang ke sini untuk mencari harta karunku, itu juga karena takdir?” dia kelihatan berpikir. Aku yang tak sabaran segera melanjutkan, “dan sekarang aku menemukanmu di sini, itu juga karena takdir?” tawa hambarku meledak.

“Kau belum menemukanku.”

Aku menatapnya. Tunggu, Ini hanya perasaanku atau badannya mengabur. Salahkan efek dari sinar matahari yang semakin meremang, atau salahkan mataku yang mungkin mengalami iritasi serius karena air laut, tapi dia benar-benar mengabur. Aku bahkan dapat melihat pemandangan yang seharusnya terhalang oleh badannya. Oh, hal ini membuatku bergidik ngeri. Bulu kudukku pun sontak berdiri.

“Temukan aku. Temukanlah..” Jemarinya bergerak naik menyentuh wajahku, namun belum sempat kurasakan sentuhannya, bayangan dihadapanku menghilang seiring dengan kepulangan sang mentari ke peraduannya. Sekitarku gelap dan hawa dingin kembali menjalari seluruh tubuhku. Ketika aku berteriak memanggil, “hei!” dua kali dan tidak mendapat sahutan, sadarlah aku bahwa aku sendirian di sana.

***
 
Sore ini sehabis hujan, aku kembali ke dermaga ini. Seluruh keadaannya sama dengan waktu itu. Hari dingin karena hujan baru saja pergi, matahari belum berkuasa sepenuhnya dan aroma hujan masih kental terasa. Maka kuberanikan diri untuk menutup mata, menggali perasaan yang pernah timbul saat lalu. Kata-kata nenek terngiang ditelinga dan batinku. Sempat aku mengharap, “muncullah pelangi, muncullah..”

Kubuka mataku. Tapi tentu saja, warna-warna itu tak lagi muncul. Aku tertawa perih dan hambar.
Biar kuceritakan kejadian selepas senja itu. Setelah aku memanggilnya dua kali dan tidak mendapat sahutan, aku bangkit. Pikiranku berkecamuk saat itu. kujambak rambutku sendiri dan aku mulai berlari kecil. Tentu kalian tidak pernah tahu bagaimana paniknya aku saat itu. Sejenak aku berpikir aku sedang berhalusinasi, tapi pikiran tersebut kutepis jauh-jauh. Aku belum segila itu! dia—pria itu—jelas-jelas menarikku dari air, berbicara denganku, dan bahkan.. mungkin kalian menganggapku aneh, karena aku mulai berpikir bahwa dialah hartaku yang kutemukan dibawah pelangi. Tapi.. lihatkan? Sekarang aku sendiri di sini. Dia, bahkan bayangnya telah menghilang.

Kemudian aku mengingat kata-katanya sebelum bayangnya menguap. “Temukan aku..”
“Menemukannya?” pertanyaan tersebut diikuti dengan pertanyaan baru, “dimana?” yah.. dimana aku bisa menemukannya?

Suasana saat itu sangat gelap. Bulan belum lagi berjaya sepenuhnya sepeninggal matahari. Aku berlari di sepanjang dermaga tua tersebut. Aku ketakutan, airmataku mulai mengalir dan nafasku terengah. Akal sehatku berkata aku tidak akan menemukan siapapun di sana, tapi aku terus berlari mengikuti pikiranku sendiri, hingga aku terpeleset, tubuhku oleng dan tercebur ke laut. Karena kaget, aku meronta dalam air, kaki-ku menendang-nendang, membentur sesuatu dan tersangkut. Kutarik-tarik kaki-ku, namun belitannya tidak melonggar sedikitpun. Maka kubelokkan badanku ke bawah dan kelihatanlah bahwa rantai dari gumpalan besi tua, bekas jangkar karatan, yang telah membelit kaki-ku. Aku mencoba menarik-narik rantai tersebut. Pertama pelan dan teliti, hingga menguat tanpa memerdulikan arah lilitnya. Sia-sia saja usahaku. Aku mulai lengah, air masuk kedalam mulutku, dan bukan salahku kalau air tersebut terminum olehku.

Nafasku sesak. Aku bertanya pada Tuhan saat itu, “beginikah cara kematian yang pantas untukku? Harta di ujung pelangi itu.. apakah tempat peristirahatan terakhir yang telah Kau siapkan untukku?”. “Terlalu dramatis,” pikirku.

Pada saat itulah, mataku yang buram melihat sesuatu. Tepat di bawah kayu dermaga, sesuatu yang tersangkut dalam besi karatan tersebut, tertahan oleh jaring-jaring dan terbelit rantai pemberat. Sesuatu yang mengerikan dan mengikis hati. Itu.. aku berani bersumpah, mataku telah dengan jelas melihat dua buah lubang hitam dan hampa yang membuat hati pilu, menatap ke arahku.

“Tengkorak! Tengkorak!” Teriakku dalam hati, sebelum aku merasakan suatu getaran hebat yang membuatku kehilangan kesadaran.

Aku tak tahu lagi apa yang terjadi dan bagaimana aku bisa selamat. Seperti sesuatu yang tak masuk akal sama sekali, aku pingsan di air, dan ditemukan sedang mengapung-apung di atas lautan oleh nelayan yang kebetulan lewat.

Satu minggu setelah kejadian itu, aku terbangun di Rumah Sakit dan langsung berteriak dengan tenagaku yang masih ada, “Ada tengkorak di bawah sana! Tolong! Tolong dia..” tangisku pecah dengan histeris mengingat apa yang telah kulihat saat itu. Hatiku bertalu-talu, bagai di pukul palu. Jika saja apa yang kupikirkan saat aku melihat kedua lubang hitam itu benar, maka aku tak sanggup jika tidak menangis.

Beberapa hari kemudian, aku diberi kabar bahwa tulang-belulang di bawah dermaga itu adalah milik Arthur Faris, seorang artis teater yang pernah terkenal enam tahun lalu sebelum dia menghilang secara misterius dari publik. Kabarnya, pada saat itu, Arthur terpilih sebagai pemeran utama untuk sebuah pementasan akbar yang akan digelar di 10 negara, termasuk Teater Broadway, Manhattan, Amerika Serikat. Menurut penuturan beberapa saksi mata, Arthur terakhir kali terlihat di dermaga tersebutsedang menari dan bernyanyi.

Sejak hari itu, dia menghilang. Tim kepolisian telah mencari di seluruh tempat yang berkemungkinan didatangi Arthur, namun tidak ditemukan tanda-tanda keberadaannya. Para nelayan mengira Arthur terpeleset dan jatuh ke laut, lalu terbawa arus dan hanyut entah kemana, sedangkan para kritikus teater berpendapat bahwa Arthur tidak sanggup membawakan peran yang terlampau penting, dan akhirnya menghilang dari dunia seni. Tapi tentu saja, para polisi lebih menyukai alasan yang pertama, yang menurut mereka lebih masuk akal, dan lalu dermaga tua tersebut ditutup dengan alasan terlalu berbahaya bila difungsikan kembali.

Banyak isu yang menggemparkan untuk beberapa waktu, tapi semuanya menghilang seiring dengan terlewatkannya waktu. Dan sore itu—ketika aku sedang berusaha mencari harta karunku—kasus tersebut ternyata mengudara kembali.

Pagi ini, aku mencoba mencari keterangan tentang Arthur dan aku menemukan sesuatu yang membuatku menangis secara spontan. Akan kuberi kutipan artikel dari media elektronik tersebut di sini:

“Over The Rainbow”
Drama Musikal yang diprediksi akan menjadi drama terspektakuler tahun ini.
Bercerita tentang remaja bernama Sean (diperankan oleh Arthur Faris), seorang anak nelayan, yang mencari ujung pelangi demi kebahagiaan hidupnya. Sean diceritakan selalu bernyanyi di dermaga dekat rumahnya setiap hujan bertemu matahari, dan warna-warni indah muncul di langit. Suatu hari, ketika pelangi yang ditunggunya muncul, ia mengajak Sean menelusuri warnanya yang indah dan menghadiahkan sesosok cantik Putri Duyung (diperankan oleh Taylor Lynn) yang akan mengabulkan satu buah permintaan dari Arthur. Arthur yang jatuh cinta kepada Putri Duyung tersebut, akhirnya meminta agar dapat hidup bersama Putri Duyung tersebut di bawah laut. Berbahagia bersama dan selamanya.

Kuingat kembali percakapan kami sore itu. Semuanya.. dan semua itu membuat jantungku berdenyut keras. Misteri harta di penghujung pelangi milikku, adalah sebuah kenangan yang telah diatur oleh takdir dan takkan terlupakan hingga kapanpun;selamanya, layaknya warna pelangi yang akan terus hidup dalam ingatanku.

Somewhere over the rainbow, skies are blue
And the dreams that you dare to dream, really do come true.

Senin, 11 April 2011

(fanfic) River Flows In Our Story..

Author : Jung_Pennie
Genre : romance, AU
Cast : Kim Jun-Su ~TVXQ~
           Kang Hee-Shin ~My Yeo dongsaeng~
Rating : PG +13
Disclaimer: Jun-Su milik TVXQ dan Cassiopeia. Hee-Shin milik Jun-Su (after her dream last night) XDD

River Flows In Our Story..

Matahari mulai terbenam di sebelah barat sana. Ketika aku melangkah maju dan mulai menelusuri koridor di hadapanku, pandanganku hanya dibantu oleh sinar remang sang matahari yang mulai tertidur. Aku berjalan, berjalan, dan berjalan..

ketika jendela besar yang memberi penerangan dari matahari telah menghilang, sebuah cahaya lampu kekuningan menyala, menerangi tepat ditengah-tengah koridor. Aku mendongak karena terkejut. dan setelah menyadari bahwa cahaya tersebut murni berasal dari lampu penerangan, aku menurunkan kepalaku, namun.. perhatianku disita oleh sebingkai pigura kecil yang berisi foto seorang gadis kecil yang membelakangi kamera. Gadis kecil berambut sebahu, memakai baju merah bergaris, berdiri di jembatan pelabuhan sambil memandang ke laut, merindukan orang tuanya. Aku tahu pemadangan itu. Aku ingat.. 

Pigura tersebut menggantung didinding. Ketika ku amati lagi, ternyata pigura tersebut tidak sendirian disana, disampingnya, dan disampingnya, dan disampingnya lagi.. menggantung pigura yang sama, yang memperlihatkan seorang yang sama, tapi dengan umur yang berbeda. Tersenyum, tertawa, menangis, dan beberapa foto dewasa yang gadis tersebut yang kelihatannya diambil secara candid.

Aku agak takjub, sungguh. Siapa yang memasang ini? Dari mana orang tersebut mendapatkan semua foto ini?

Aku terus berjalan menelusuri koridor ini sambil memperhatikan foto-foto tersebut. Dan kecurigaanku bertambah ketika foto anak lain mucul dihadapanku. Kali ini anak laki-laki bermata sipit sedang bergaya. Aku tahu betul siapa anak ini. Tapi, kenapa fotonya juga ada disini?

Aku meneruskan kaki dan mataku untuk melihat foto-foto lainnya yang tersisa, dan benar saja dugaanku, foto kedua orang tersebut memenuhi dinding koridor ini. Dari kecil sampai dewasa. Mereka terlihat bersama-sama di beberapa foto, dan kenangan-kenangan foto mereka terputar kembali dalam otakku. Contohnya saja, ketika aku mendapati salah satu foto yang paling bersejarah dalam pigura di dinding pertengahan koridor. Ketika jantungku hampir berhenti tiba-tiba, dan kukira akan meloncat keluar saat detakannya memompa luar biasa cepatnya.
               


Flashback

“Mau?”
Aku menoleh cepat. “Hah? Apa?”
Dia tersenyum dan menjulurkan lidahnya sedikit, membuatku melihat apa yang sedang ia kulum dalam mulutnya.
“Mwo? Permen?” tanyaku sarkastis. Sebenarnya bukan itu pertanyaanku, tapi, maksudku adalah, apa dia menawariku permen dalam mulutnya atau akan memberiku permen yang baru. Tapi setelah senyum nakal tersungging dibibirnya, aku sadar kalau yang ditawarinya adalah permen yang sedang dikulumnya, dalam mulutnya. Dia sedang menantangku.
Inilah aku. Aku yang sebenarnya penakut, namun mempunyai rasa gengsi yang besar.
“Siapa takut?” jawabku santai, menyembunyikan rasa takut kalau-kalau saja dia benar mengerjaiku.
Suasana hutan tengah damai saat itu. Selain kami, hanya suara air sungai dan serangga yang terdengar.
Aku melihatnya kembali tersenyum sekilas sebelum ia melakukannya. Itu begitu cepat. Maksudku, aku bahkan tidak sadar dia benar-benar melakukannya. Bibirnya menempel dibibirku. Keduanya bertemu. Rasa manis dan asam strawberry menjalari lidahku, tepat ketika ia memindahkan permen tersebut kedalam mulutku. Ia melepaskan permen tersebut kedalam mulutku, dan lidahnya menyentuh lidahku. Bibirnya bergerak pelan bersama lidahnya, memainkan lidahku. Dan aku.. aku tentu saja terlalu terkejut bahkan hanya untuk mengungkapkan keterkejutanku saat itu, aku juga terlalu terkejut untuk menutup mataku. Aku.. benar-benar terkejut. tubuhku membatu ketika ia melepas “ciuman”nya (kalau itu bisa disebut ciuman).
“Mulai sekarang.. jadilah wanitaku,” katanya menaikkan wajahku yang tertunduk dan menatap mataku, dalam. Merasa wajahku memanas, aku segera menunduk kembali. Dia tertawa kecil melihatku tingkahku. Dan ketika aku mendongak karena ia memanggilku,
‘Cikret’
Surprise. Dia memotret wajahku.

End Of Flashback

Sudut bibirku tertarik ke kanan dan kiri. Sudah lima tahun. Kejadian itu terjadi lima tahun yang lalu. Kuteruskan lagi langkah kakiku. Foto bahagia pasangan dalam foto tersebut berhenti pada masa satu tahun lalu. Tak ada kenangan yang dapat diciptakan semenjak satu tahun lalu.

Sampai pada ujung koridor yang agak gelap karena mulai kehilangan cahaya, aku berhenti untuk menarik napas, dan menyadari  sebuah pigura terakhir yang agak aneh.

Pigura tersebut kosong.
Mengapa kosong? Kemana fotonya?’ pikirku.
Jemariku terangkat naik dan menyentuh kaca dingin yang membungkus pigura tersebut.
“Apa maksudnya ini? Siapa.. siapa yang memasang foto-foto ini?”
Tepat pada saat itulah, alunan River Flows In You dari Yiruma terdengar dari sampingku. Aku menoleh ke asal suara. Seiring dengan pandanganku, sebuah lampu menyala. Dihadapanku, piano tersebut berdenting, menghasilkan musik indah. Dan suara lainnya melantunkan lirik lagunya..

Neo-reul  wi-han gil-i ha-na itt-da-myeon
그건 지금 바로 너 안에 있어
Geu-geon ji-geum ba-ro neo an-e iss-eo
그렇게 더 견뎌낼 수 있다면
Geu-reoh-ge deo gyeon-dyeo-nael su itt-da-myeon
이곳에 너의 모든 걸 맡겨 봐
I-gos-e neo-eui mo-deun geol mat-gyeo bwa
Holding you, holding you
It’s in you, river flows in you
천천히, 더 천천히
Cheon-cheon-hi, deo cheon-cheon-hi
네 맘속에 강은 흐르고
Ne mam-sok-e gang-eun heu-reu-go
Holding you, holding you
It’s in you, river flows in you
기다림, 그 기다림
Gi-da-rim, geu gi-da-rim
그때는 내가 있을까
Geu-ddae-neun nae-ga iss-eul-gga
널 향해 내 맘을 던지고 싶어
Neol hyang-hae nae mam-eul deon-ji-go ship-eo
언제나 내가 널 느낄 수 있게
Eon-je-na nae-ga neol neu-ggil su itt-ge
그렇게 더 견뎌낼 수 있다면
Geu-reoh-ge deo gyeon-dyeo-nael su itt-da-myeon
이곳에 너의 모든 걸 맡겨 봐
I-gos-e neo-eui mo-deun geol mat-gyeo bwa
Holding you, holding you
It’s in you, river flows in you
천천히, 더 천천히
Cheon-cheon-hi, deo cheon-cheon-hi
네 맘속에 강은 흐르고
Ne mam-sok-e gang-eun heu-reu-go
Holding you, holding you
It’s in you, river flows in you
기다림, 그 기다림
Gi-da-rim, geu gi-da-rim
그때는 내가 있을까
Geu-ddae-neun nae-ga iss-eul-ga
Holding you, holding you
It’s in you, river flows in you
천천히, 더 천천히
Cheon-cheon-hi, deo cheon-cheon-hi
네 맘속에 강은 흐르고
Ne mam-sok-e gang-eun heu-reu-go
Holding you, holding you
It’s in you, river flows in you
기다림, 그 기다림
Gi-da-rim, geu gi-da-rim
그때는 내가 있을까
Geu-ddae-neun nae-ga iss-eul-gga
river flows in you…

itu dia.. aku semakin yakin itu dia. Dia bangkit dan berjalan mendekatiku.
Long time no see, Sarang-ah..” ucapnya seraya membelai pipiku dengan telunjuknya.
“Satu tahun tepatnya,” kataku. Dia tersenyum.
“Seperti permintaanmu.. dan seperti janjiku,” ucapnya.

Aku diam dan menatap langsung kedalam matanya. Aku ingat janji itu, tapi aku tak menyangka dia akan menepatinya.

Setahun yang lalu, dia mengajakku untuk hidup bersama. Aku marah besar. Hidup bersama itu maksudnya aku tinggal serumah dengannya, kan? begitu, kan? ckckck...

“YA, Nappeun Neom! Kau bilang kau ingin aku hidup bersamamu karena kau mencintaiku, kan? baiklah! Buktikanlah! Mari berpisah satu tahun. Kau tidak boleh menghubungiku, dan aku juga tidak akan menghubungimu selama satu tahun. Setelah satu tahun itu lewat, mari kita lihat apakah kau masih menyimpan perasaan padaku atau tidak! Ck.. aku tidak akan tinggal bersamamu segampang itu!”

Itu yang kukatakan setahun lalu. Aku yang bodoh dan ceroboh. Aku yang menahan rindu setengah mati, dan aku yang menghapus setiap tetes air mata yang mengalir akibat kegengsian, berikut harga diri yang kian meninggi. Naif.

“Baik. Baiklah.. aku akan kembali satu tahun lagi untuk meyakinkanmu. Itu janjiku!”

Harganya dirinya juga tak terkalahkan, dan sekarang dia telah menepati janjinya.

“Jadi, itulah yang membuatmu mendatangi rumahku diam-diam dan..”aku menoleh kebelakang menunjuk foto-foto kecilku dalam pigura, ”darimana kau mencuri foto-foto kecilku itu?”

“Kau lupa aku mengenal Kim Ahjumma—pengasuh terbaik sepanjang masa-mu itu?”

Aku menatapnya dan kami tertawa kecil bersamaan. Betul, dari Kim Ahjumma.. tentu saja. Bagaimana aku bisa melupakannya?

“Tapi..”tambahku cepat,”apa artinya ini semua? Dan ini..” aku menunjuk pigura yang kosong,”kenapa yang ini kosong”

“Itu kisah kita,”jawabnya,”kau dan aku dilahirkan.. beranjak dewasa.. dan saling menemukan, kemudian saling melengkapi. Pigura yang ini..”

Dia tersenyum hangat padaku. Senyumnya sangat berbeda dengan lima tahun lalu ketika “Insiden ciuman” kami terjadi. Senyumnya kali ini terasa mantap.

“Pasti akan ada isinya.. setelah kau menerimaku..

Would you marry me, Kang Hee-Shin?”

***



EPILOG
Kim Jun-Su mengeluarkan secarik kertas dari lacinya. Matanya sedikit membengkak karena tangisan cengeng seorang pria yang merindukan kekasihnya. Dia merapikan kertas tersebut sebelum menulis, menekan-nekan ujung pulpen sambil berpikir keras tentang bagaimana dia harus memulai.

Dear Shinnie,
Aku tidak bisa berpisah denganmu selama itu.. aku mencintaimu, percayalah...

“Tidak. Tidak.”gumamnya sambil meremas kertas tersebut dan melemparnya ke sembarang arah.

Shinnie-yah..
Bogoshipo.. maafkanlah kesalahanku jika aku menyinggungmu. Mianhaeyo.. ayo kita berbaikan.

“Ck..” decaknya. Kertas tersebut kembali diremas.

Kang Hee-Shin..
Aku..

Ia menarik napas dan mengembuskannya pelan.

Mencintaimu. Menyanjungmu, mengagumimu dan mengingikanmu. Aku hanya ingin menatapmu seorang, baik sekarang maupun nanti.
Aku bodoh dan ceroboh. Aku egois dan berharga diri tinggi. Aku terlalu naif untuk berterus-terang padamu.
Maaf, Shinnie-yah, jika aku menyinggung perasaanmu hari ini. Aku hanya mencoba jujur padamu. Aku hanya ingin mengatakan betapa aku ingin menghabiskan sisa umurku bersamamu. Aku hanya ingin mengatakan “jadilah istriku, Kang Hee-Shin.” Tapi aku tak berani. Dan akhirnya kata-kata kacau seperti”Ayo kita hidup bersama dirumahku” yang keluar.
Maaf.. aku memang bodoh. Bisakah kau memaafkanku? Aku tidak ingin menemuimu satu tahun lagi. Aku ingin menemuimu seetiap hari sampai ketika aku tidak diperbolehkan lagi oleh Tuhan.
Shinnie-yah.. saranghae..

Ia menyelesaikan kata-katanya kali ini. namun surat itu tidak pernah sampai kepada Cho Shin-Hee. Jun-Su menyimpannya di dalam laci kayu bersama sebuah kotak kecil berwarna merah hati yang berisi cincin putih berhias berlian kecil yang amat cantik (yang kini tersemat di jari manis Kang Hee-Shin)
Jun-Su mencoba menepati janjinya kepada Hee-Shin. Menunggu satu tahun. Dan membuktikan bahwa cintanya memang tulus.

----oOo----



Nb. This fanfiction is inspired by Yiruma - River Flows In You, and My Sister's dream.. 
Monggo di kasih komentarnya ya.. ^^